Monday, March 12, 2012

"Berlian Di Kegelapan"


BERLIAN DI KEGELAPAN

Aku seorang gadis sederhana yang tidak memiliki pengharapan seperti teman-temanku yang lainnya. Terlahir sebagai gadis yang tidak ada apa-apanya. Aku berkaca di hadapan cermin di kamarku. Aku bertanya-tanya untuk apa aku dilahirkan di dunia ini. Aku hanya bisa melihat wajahku yang putih gading, mataku yang sedikit sipit, hidungku yang kecil dan sedikit mancung, bibirku yang kecil berwarna merah muda. Tapi nasibku sepertinya tidak sebagus wajah yang aku miliki (bagus?masa sih?). Semua orang pasti ingin menjadi yang terbaik dengan bakat yang mereka miliki. Made Riana Putri Corolla adalah nama yang diberikan oleh Ibu dan Ayahku. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku, Putu Ranggita Putri Cillia, mendapat beasiswa ke Australia karena dia memiliki prestasi di bidang Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang. Dia pernah mendapatkan juara nasional debat bahasa Inggris di Jakarta. Bayangkan betapa bangganya Ayah dan Ibu sama dia.
Anehnya, kenapa aku dan kakakku sangat berbeda? Padahal kita kakak dan adik kandung (bisa dites DNA kok?kalo nggak percaya). Dia dilahirkan memiliki kepintaran apalagi ditambah dengan wajahnya yang cantik. Riana, panggilanku. Aku selalu merasa bingung, mengapa aku tidak memiliki bakat yang hebat seperti kakakku walupun bukan bakat yang sama tetapi setidaknya memiliki bakat yang dapat menentukan masa depanku nantinya. Sebelum kakakku berangkat kuliah ke Australia, dia berpesan padaku bahwa semua orang memiliki bakat masing-masing yang sudah diberikan oleh Tuhan. Tapi aku masih belum pernah menyadari bakat apa yang aku miliki. “Itu semua perlu waktu, ana!” katanya sewaktu di bandara. Aku pun hanya bisa tersenyum bangga pada kakakku satu-satunya yang aku sayangi.
Sinar mentari mengintipku, suara jam alarm memanggil-manggilku untuk bangun dari tidurku. Aku membuka mataku pelan-pelan dan segera bangun dari tempat tidur menuju meja untuk mematikan deringan jam alarm. Ternyata waktu menunjukkan pukul 06.00, aku pun segera membasuh diri dan memakai seragam sekolah. Keluar dari kamarku dan menuju meja makan untuk sarapan. Ayah dan ibu sudah duduk di meja makan.
“Riana, cepetan sarapan nanti telat lho?” kata Ibuku sambil menyiapkan roti di piringku.
“Iya, Bu.” jawabku sambil mengambil roti yang sudah dilapisi selai kacang kesukaanku. Aku tidak sempat duduk di kursi, setelah mengambil roti aku langsung sungkem dengan Ibu dan Ayah.
“Hati-hati ya!” kata Ayah dan Ibu.
Aku pun segera menuju parkiran sambil menghabiskan sarapanku. Aku biasanya ke sekolah naik sepeda motor (soalnya nggak mampu beli mobil). Setibanya di parkiran sekolah ada yang menepuk pundakku dan aku menoleh tiba-tiba sudah ada seekor cicak di depan mukaku. Dengan spotan aku berteriak, hwaaaa… cicak… Siapa lagi kalau bukan Arya, tukang usil yang suka banget bikin aku kesel. Dia tertawa terbahak-bahak melihatku kaget dan berteriak seketika ketika disajikan seekor cicak.
“Hahaha…” tawanya yang menggelegar.
“Nggak ada yang lucu tau!” kataku dengan nada ketus dan melangkah menjauhinya yang masih tertawa terbahak-bahak tidak jelas.
Arya, temen sekelasku yang sering banget ngusilin aku dan bikin aku jadi marah. Dia yang dikenal anak paling badung tapi berprestasi (aneh!), temen-temen bilang dia orang yang baik dan ramah tetapi tidak pada pandanganku. Arya, orang yang nyebelin, ngeselin, sok keren, dan sok kalem. Itu adalah pandanganku sama cowok nyebelin, paling nyebelin. Setibanya di kelas, teman-teman pada sibuk ngerumunin papan pengumuman di depan kelas. Aku pun bertanya pada Indah yang berdiri di depan kelas. “Ada apa sih? Kok semuanya pada seru gitu mandangin papan pengumuman? Emangnya ada pengumuman apa? Uang komite digratiskan ya?” kataku pada Indah yang lagi sibuk mencet-mencetin HP barunya yang katanya baru dibeliin ama papanya yang pulang dari luar negeri. Biasa anak orang kaya yang nggak pernah habis kekayaannya sampe tujuh turunan lebih malah.
“Itu pada lagi ngeliatin syarat-syarat masuk Medical University di Seoul, Korea. Katanya sih sekolah kita kerjasama ama kampus itu. Jauh-jauh amet nyari sekolah padahal di Indonesia masih banyak tu kampus-kampus terkenal yang nggak kalah hebatnya ama kampus-kampus di luar negeri.” katanya panjang lebar yang sebenernya udah bosen ke luar negeri soalnya tiap liburan dia pasti ke luar negeri.
“Beneran?! Medical University di Korea tu kan keren abis. Tapi tumben kamu nggak tertarik. Biasanya kan kamu paling semangat kalo udah nyinggung luar negeri.” kataku
“Aku udah delapan kali bolak-balik Korea. Udah bosen!”  jawabnya dengan singkat.
“Owwhhh….” Sautku sambil meninggalkannya masuk kelas yang masih sibuk ngotak-atik HP-nya.
Begitulah teman satuku ini, Indah, dia emang keren abis. Udah tajir, cantik, pinter, banyak cowok yang ngejar-ngejar dia, dan satu yang nggak pernah aku lupain dari dirinya dia punya bakat yang emang luar biasa banget. Jadi model, oke! Jadi pengusaha, oke! Jadi mahasiswa kedokteran, oke! Malah kalo dia nggak kerja juga nggak apa-apa, uangnya udah setumpuk gunung sih!
Aku pun meletakkan tasku diatas meja. “Woi… Gondola!” sapa Arya padaku. Sebenernya bukan sapaan sih melainkan ejean. Nggak tau darimana dia bisa dapet kata ‘Gondola’ buat ngejek aku. Orang aneh! “Dasar nggak ada kerjaan! Bisa nggak panggil namaku aja, apa aku mesti perkenalkan diri dulu? Padahal kita udah hampir 2 tahun sekelas, apa kamu nggak capek ngejek aku terus?” jawabku.
“Hahaha… bukannya ‘Gondola’ itu namamu ya?” katanya tertawa aneh.
“Maksudmu? Heh?! Namaku nggak ada isi ‘Gondola’ ya! Tapi Corolla! Orang aneh!” jawabku ketus dan memandang matanya dengan amarah.
Tapi dia malah nggak ngerasa takut apalagi bersalah. Dia tertawa terbahak-terbahak melihatku memandangnya, “Kamu lucu kalo marah kayak bebek diinjek semut aja. Hehehe…” katanya. “Mana ada bebek diinjek semut, yang ada tu semut diinjek bebek. Garing banget!” sautku.
Dia pun berlalu dari hadapanku dengan senyum anehnya itu menuju bangkunya. Tak lama bel masuk kelas pun berdering dengan nyaringnya bagaikan paduan suara jangkrik-jangkrik dengan nada paling tinggi dan cepat. Semua siswa masuk ke kelasnya masing-masing. Tidak lama kemudian masuklah Ibu Sari, guru bahasa Inggris. Ibu sari adalah guru yang paling nggak suka sama siswa yang cengengesan dan dia juga paling benci sama yang namanya ‘Kucing’. Sebenernya kucing itu lucu tapi, aku juga nggak suka sama kucing karena waktu kecil aku kena asma gara-gara bulu kucing. Hii…
Waktu pun cepat berlalu. Bel pulang sekolah sudah berdering dengan indahnya. Semua siswa-siswa pun berhamburan pulang sekolah dengan riangnya. Aku yang masih ingin di sekolah karena pengen numpang ngenet. Hehehe… mumpung wireless koneksinya lancar. Saat sedang asyiknya membaca artikel tentang Yonsei University, Seoul. Tiba-tiba ada tangan yang mendekat di tombol turn on/off laptopku. Jeglek… hwaaa…
Aku pun menoleh dan ternyata sii orang nyebelin itu lagi, Arya. “Dasar orang nyebelin! Nggak bisa liat aku tenang dan damai.” teriakku padanya.
“Hehehe…” sautnya singkat dengan senyum anehnya itu.
“Aku pengen banget cepet-cepet lulus.” kataku sambil kembali menghidupkan laptopku.
“Kenapa?” katanya.
“Biar aku nggak diganggu terus ama orang aneh kayak kamu.” jawabku.
“Hahaha…aku bakalan tetep ngikutin kamu ampe ke universitas.” katanya sambil duduk di hadapanku dengan menatapku dengan senyum anehnya itu.
“Aku bakalan berusaha nggak ninggalin jejak biar nggak kehendus ama kamu.” jawabku.
“Aku bakalan nyewa detektif buat nyari jejakmu sampe aku ketemu kamu lagi.” sautnya.
“Tunggu deh dulu! Jangan-jangan kamu suka ya ama aku?” kataku.
“Apa? ! Nggaklah! Aku nggak suka ama cewek yang nggak punya bakat kayak kamu.” katanya dengan muka yang sedikit gugup.
“Iya, aku emang nggak tau bakatku apa! Tapi kamu nggak usah kayak gitu dong! Gini-gini aku juga cewek yang termasuk manis (memuji diri sendiri adalah pahala, hehehe…).” jawabku.
“Apa? ! manis? Hahaha… biasa aja tu.” katanya tertawa.
Aku pun tidak menghiraukan kata-katanya itu. Aku segera me-close computerku  meletakkannya dalam tas dan segera pergi dari hadapannya. Dia malah tertawa melihatku marah. Aku benci sekali sama yang namanya ‘Arya’. Dia nggak bisa menjaga perasaan orang sama sekali. Kesel! Benci! Nyebelin! Huuwwhhh…
Aku pun mengingat perkataan Arya tadi di sekolah. Aku tidak punya bakat. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak bisa mengetahui bakat yang aku miliki. Nyanyi nggak bisa, nari nggak bisa, nulis cerpen nggak bisa. Apa bakatku?! Pertanyaan yang selalu aku tanyakan pada diri ini. Setibanya di rumah aku mengambil bola basket dan pergi ke lapangan basket dekat rumah. Tapi sebelumnya aku ganti baju memakai kaos, celana pendek dan sepatu basket. Biasanya aku bermain basket hingga sore. Aku suka banget sama yang namanya basket. Nggak hanya bikin kita sehat tapi basket juga permainan olahraga yang trendi di kalangan anak-anak jaman sekarang. Aku pun menghabiskan tidur siangku dengan bermain basket. Aku tidak bermain sendiri melainkan dengan Indah, Sari, dan Devi. Mereka ingin aku masuk ke club basket sekolah karena club basket sekolah mengadakan seleksi untuk mencari anggota baru. Mereka membujukku untuk ikut seleksi karena permainanku sudah lumayan bagus. Tetapi aku menolak bujukan mereka karena aku tidak mahir bermain basket. Setelah matahari lelah menemani, kami pun segera pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat karena besok ada ulangan Matematika.
Mentari tidak menampakkan dirinya menandakan mentari tertidur berselimutkan embun. Tetesan-tetesan air mata langit jatuh ke bumi yang pada mulanya tetesan kecil menjadi tetesan lebat. Aku pun pergi sekolah memakai jas hujan jika menunggu hingga hujan reda, bel sekolah akan berbunyi nyaring dan gerbang sekolah ditutup. Aku pun mengendarai motorku dengan pelan karena jalanan licin. Ternyata malaikat ada pada pihakku. Bel sekolah berbunyi seteleah aku masuk ke kelas.
“Woii… gondola! Dateng telat terus kamu, jangan aja sekolah sekalian biar aku nggak sebel liat mukamu itu!” kata Arya, sii nyebelin yang ngusulin aku terus.
“Maumu apa sih?! Jadi orang itu jangan nyebelin!” jawabku singkat tanpa embel-embel ejekan.
“Aku lagi nggak suka aja liat mukamu. Mukamu kayak hantu tak punya bakat. Hahaha…” ejeknya.
Aku pun menoleh ke arahnya dan menghampirinya dengan membawa selotip besar untuk aku tempelkan ke mulutnya yang nyebelin itu. “Bisa diem nggak!” kataku sambil menempelkan selotip pada mulutnya. Dia pun kaget dan segera melepaskan selotip itu.
“Kamu?! Udah berani sama aku?” katanya sambil menarik tanganku dan menatapku tepat pda bola mataku.
“Takut?! Aku nggak takut ama kamu! Orang kayak kamu tu seharusnya udah dilenyapin dari dunia ini.” jawabku sambil melepaskan genggamannya.
“Dasar cewek nggak punya bakat! Ditawarin ikut seleksi masuk club basket aja nggak mau! Padahal bisa main basket, bilang nggak bisa!” katanya sambil berdiri dengan gaya sok keren.
“Hah?! Darimana kamu tau kalo aku ditawarin ikut seleksi?” kataku sambil menatapnya dengan penuh tanya.
“Mmm… terserah aku tau darimana?” katanya dengan muka yang gugup kemudian pergi dari hadapanku.
“Kenapa sih dia? aneh!” kataku.
“Dia perhatian ama kamu tau.” kata Indah yang baru datang dari ruang guru karena terlambat.
“Nggak mungkin! Aku bakalan main basket dua hari dua malam kalo dia perhatian ama aku.” kataku pada Indah.
“Owwhh… beneran nih? Tunggu aja! Kamu bakalan main basket dua hari dua malem.” jawabnya sambil menggerakkan alisnya.
Pelajaran pun berlangsung dengan baik. Setelah pulang sekolah Indah, Sari, dan Devi berencana mendaftar ke panitia untuk ikut seleksi basket. “Na, ikut yuk!” ajak Sari.
“Nggak ah! Kalian aja! Aku nggak yakin bisa!” jawabku.
“Jangan pesimis gitu dong! Belum aja kamu nyoba, daftar aja dulu!” kata Devi.
“Iya nih! Apa karena panitianya tu ada Arya?” kata Indah.
“Hah?! Nggak ah! Aku nggak minat!” jawabku dengan muka yang udah basi banget denger namanya dia.
“Ayo dong ikut aja! Apa salahnya mencoba? Siapa tau kamu masuk?” bujuk Sari, temanku yang paling lembut diantara Indah sama Devi. Sari adalah orang asli Yogya yang tinggal di Bali karena Papanya tugas dinas di sini. Dia tertarik sama basket karena ada idolanya di tim basket sekolah cowok.
“Tapi, aku pasti nggak bisa! Mana Arya jadi panitia lagi, salah-salah nanti dia ledekin aku lagi.” kataku.
“Udah kelamaan! Ayo ikut daftar!” cerocos Indah yang menarik tanganku.
Kami pun mendaftar di panitia pendaftaran. Arya yang mendapat tugas sebagai panitia pun mencatat siswa-siswa yang ingin mendaftar. “Arya, aku mau ikut daftar ama temen-temenku.” kata Indah yang mewakili aku, Sari ama Devi mendaftar.
“Siapa aja? Sebutin nama-namanya!” katanya tanpa basi-basi karena banyak sekali yang mengantri untuk ikut mendaftar.
“Indah, Sari, Devi, ama Riana.” kata Indah.
“Owwhh…” sautnya sambil tersenyum dan menulis nama-nama yang disebutkan.
“Kenapa kamu senyum-senyum gitu? Senyum ada maksud nih?” kata Indah.
“Terserahku dong mau senyum! Senyum, senyumku. Udah sana! Banyak tu yang ngantri.” katanya sambil mengusir.
Kami pun berencana latihan basket hari ini. Setelah pulang ke rumah masing-masing mengganti seragam dan makan siang. Kami pun berkumpul di lapangan basket dekat komplek perumahan kami. Kebetulan kami tinggal satu komplek perumahan. Sedang asyiknya berlatih Indah melihat orang yang mirip Arya duduk di atas motornya agak jauh di luar lapangan.
“Itu kayaknya Arya deh?” katanya sambil menoleh ke orang yang mirip dengan Arya.
“Nggak mungkin dia! Ngapain coba dia kesini? Dia nggak bakal buang waktunya buat ngintip kita latihan.” kataku sambil men-drible bola.
“Iya lho?! Kayak Arya, coba deh kamu noleh, na!” kata Sari.
Aku pun menoleh ke arah orang yang ditunjuk Devi. Setelah aku menoleh ke arah orang itu, tiba-tiba dia langsung menghidupkan motor gedenya dan segera pergi. Aku pun sedikit curiga kalau itu Arya. Dari motornya mirip dan cara orang itu mengendarai motor juga mirip sii Arya, orang nyebelin itu. Tapi pikirku nggak mungkin dia kesini, pasti dia sibuk nyiapin seleksi besok. Kami pun latihan hingga sore dan mengeluarkan keringat banyak sekali. Setelah merasa cukup latihan untuk seleksi besok, kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Seleksi pun dimulai. Aku, Indah, Devi, dan Sari bersiap-siap mengikuti seleksi. Aku sangat gugup karena ini pertama kalinya aku mengikuti seleksi basket. Biasanya aku hanya bermain basket untuk menghilangkan stress. Seleksi pun berlangsung denga baik dan aku dan teman-temanku merasa sudah lega karena dapat mengikuti seleksi dengan baik. Pengumumannya akan diumumkan besok di sekolah. Indah mengajak aku, Sari, dan Devi pergi ke rumahnya karena Mamanya sedang masak besar. Kami pun dijemput di rumah Sari dengan mobil jazz putih yang baru dibelikan sama Papanya.
“Riana, aku yakin kamu pasti lolos seleksi.” kata Indah sambil menyetir mobilnya padaku yang duduk di sebelahnya.
“Nggak mungkin!” kataku.
“Aku juga sama kayak Indah. Kamu pasti lolos seleksi kok! Soalnya waktu kamu terus diperhatiin sama Jurinya kemaren.” sambung Sari yang duduk di belakangku dan disampingnya duduk Devi.
“Mungkin karena aku mainnya jelek makanya diperhatiin.” jawabku singkat.
“Udah kita liat aja besok pengumumannya! Indah, rumahmu dimana sih? Kok belum nyampe-nyampe dari tadi? Perutku udah laper nih! Pengen cepet-cepet makan masakan mamamu yang enak-enak.” saut Devi sambil mengelus-ngelus perutnya yang udah keroncongan.
“Iya, iya… Bentar lagi nyampe kok!” jawab Indah sambil tersenyum kecil melihat temannya yang satu ini. Devi adalah temanku yang paling jago makan tapi, nggak pernah gendut gara-gara makan banyak. Kami pun menghabiskan makan malam di rumah Indah yang gede abis dan luasnya minta ampun itu. Setelah kami makan dan mengobrol-ngobrol dengan mama dan papanya Indah, kami pun diantar pulang oleh Indah.
Semua siswa berkumpul melihat pengumuman siapa saja yang lolos seleksi club basket. Indah, Devi, dan Sari ikut berkumpul dan berdesak-desakkan melihat pengumuman. “Riana, sini-sini cepetan liat deh! Ada namamu disini! ‘Riana Putri Corolla’.” katanya berteriak padaku ketika aku menghampiri mereka.
“Cepetan dung jalannya!” teriak Devi padaku.
“Iya, iya sabar!” jawabku singkat.
Aku pun melihat pengumumannya. Dan ternyata ada namaku tepatnya tercamtum pada nomer urut pertama. Aku pun hanya bisa bengong tidak percaya. “Benerkan? Kamu pasti masuk!” kata Indah.
“Owwhhh… Orang gak punya bakat kayak kamu ternyata bisa juga lolos seleksi jadi anggota club basket.” kata seorang yang muncul dari belakangku.
“Dasar Arya nyebelin!” jawabku yang ternyata sii Arya.
“Iya, iya… aku emang nyebelin.” katanya singkat sambil berjalan menjauh.
Aneh banget! Biasanya dia pasti terus ngeledek aku sampai aku yang ngalah. Kesambet apa dia? Kenapa bisa jadi kayak gitu? Tapi untunglah dia nggak nyari masalh lagi sama aku. Tenang!
Aku pun direkrut menjadi anggota basket dan menjadi pemain utama pada pertandingan basket antar sekolah. Tim basket sekolahku pun memenangkan pertandingan itu dan maju mewakili provinsi untuk bertanding ke tingkat nasional. Sebelumnya aku tidak menyangka aku bisa mencapi sejauh ini. Ayah dan Ibuku bangga melihat perkembanganku yang dapat menemukan jati diri. Kakakku yang sudah lulus dari Universitas di Australia kembali ke Indonesia dan bekerja di Universitas terkenal di Bali sebagai seorang Dosen muda. Dia juga mengatakan inilah awal kesuksesanku.
Berita yangku kirim melalui e-mail dari Jakarta,
Ayah, Ibu, Kak Gita…
Tim basketku menang! Aku dan teman-teman basket lainnya mendapatkan beasiswa ke Korea untuk kuliah disana. Aku akan pulang besok mwmbawa medali dan piagam. Aku bangga dengan diriku sendiri. Terimakasih selama ini kalian sudah memberikanku semangat dan dorangan. Dan tentunya aku berterimakasih kepada Tuhan sudah merestuiku dan memeberikan jalan. Aku juga ingin berterimakasihsama Indah, Devi dan Sari dan juga  sama Arya berkat dia aku menyadari bakatku apa.

Setelah meyerahkan Piala kepada Bapak Kepala Sekolah, aku pun segera menuju ke kelas karena sudah seminggu aku tidak melihat teman-temanku.
“Hai semua!” sapaku kepada teman-teman. Mereka pun tersenyum bangga padaku dan menghampiriku serta memeberikan selamat atas prestasi yang aku raih. Tapi satu orang yang belum aku lihat batang hidungnya, Arya.
“Mmm… Arya kok nggak ada? Dia nggak sekolah ya? Padahal aku pengen ngucapin terimakasih sama dia.” kataku sembari mencari batang hidungnya.
“Emangnya kamu nggak dikasi tau ama Arya?” kata Indah.
“Dikasi tau apa?” kataku.
“Dia udah pindah ke Australia ikut Papanya tugas disana.” Jawab Sari.
“Australia?!” kataku kaget.
Aku tidak menyangka dia pergi tanpa memberitahukan aku. Mungkin karena dia masih menganggapku musuhnya. Tapi setidaknya dia memberi kabar bahwa dia akan ke Australia padaku. Akukan juga teman sekelasnya. Ternyata dia menitipkan surat untukku.
“Ana, ada surat titipan dari Arya? Kemaren sebelum dia ke bandara dia kesini, pengennya pamitan langsung ama kamu. Tapi kamunya nggak ada jadinya, dia nitip surat sama bingkisan kecil. Itu kakak taruh di kamurmu.” kata kakakku panjang lebar setelah aku pulang dari sekolah.
Aku pun segera menuju kamarku dan mengambil surat di atas meja.
To: sii Gondola…

Selamet ya! Maaf aku nggak bisa nyelametin kamu langsung! Aku harus ikut papaku ke Australia. Katanya kamu dapet beasiswa di Korea ya? Waahhhh…Selamet ya! Aku jadi ikut bangga. Kamu yang nggak tau bakatmu apa, sekarang udah berhasil dengan bakat terpendam yang kamu miliki. Aku…aku…pasti rindu sama mukamu yang nyebelin itu. Hahahaha… Jangan gede kepala baru aku bilang bakalan rindu sama kamu! Hehehe…kamu tau? Kamu kayak sebuah berlian di kegelapan. Semoga kamu suka! See you later…!

                                                                           Salam nyebelin dari,

                                                                           Arya Perdana Kusuma

Aku pun membuka bingkisan yang dia berikan ternyata sebuah kristal yang berisi cairan berwarna gelap dan di dalamnya berisi batu mirip berlian yang bersinar terang. Aku mengerti maksudmu. Aku mengerti kenapa kamu bilang aku ‘Berlian di Kegelapan’. Dan sekarang aku meyadari betapa berharganya dirimu bagiku. Kamu orang yang memberikan aku kepercayaan bahwa aku memiliki bakat. Aku akan menunggumu hingga waktu yang mempertemukan kita kembali.

Selamat datang di acara Pernikahan :
Arya Perdana Kusuma
               Dan
Riana Putri Corolla

No comments:

Post a Comment